Budidaya Sidat

PROSPEK EKONOMI BUDIDAYA SIDAT
Prospek Pasar
Kebutuhan pasar dunia terhadap ikan sidat saat ini mencapai 300.000 ton per tahun. Hal Jni menunjukkan pengembangan usaha dan investasi ikan sidat mempunyai prospek yang cerah.
Saat ini, kata Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan KKP Viktor Nikiju-luw pada acara forum promosi Usaha dan Investasi Ikan Sidat di Jakarta, Rabu (23/3), jumlah permintaan ikan sidat untuk pasar domestik dan internasional sangat tinggi.
Di pasar domestik terdapat beberapa supermarket besar yang meminta sidat sebanyak tiga ton per bulan dan baru terpenuhi sekitar 10 persen dengan suplai yang kontinyu.
Sedangkan produksi ikan sidat dalam negeri masih minim. Menurut data statistik perikanan budidaya tahun 2009 sebesar 3.949 ton per tahun. Dengan pasar yang begitu tinggi, maka produksi ikan sidat akan diting-katkan.
"KKP menawarkan kepada pengusaha Jepang untuk berinvestasi dalam pengembangan budidaya dan industri pengolahan ikan sidat," ujarnya.
Jepang membutuhkan ikan sidat sebanyak 100.000 ton per tahun, tetapi negara sakura tersebut hanya mampu memproduksi 20.000 ton per tahun. Untuk menutupi kekurangan, mereka impor ikan sidat dari China dan Taiwan 60.000 ton per tahun.
Sedangkan kebutuhan pasar ikan sidat di Jepang saat ini mencapai 40.000 ton per tahun atau senilai 1,7 miliar dolar AS. Pasar ikan sidat di Jepang masih sangat terbuka karena kebutuhan akan ikan sidat masih kurang.
Viktor mengatakan, masyarakat Jepang sangat hati-hati dalam mengonsumsi produksi ikan dari luar terutama dari China. Karena produksi ikan dari China dinilai banyak mengandung antibiotik dan bahan kimia lainnya, (cr-1). Sumber: Bataviase
Popularitas Sidat
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kurang populernya budidaya sidat. Pertama, masyarakat belum tahu jika ikan sidat itu memiliki nilai jual yang bagus. Masyarakat masih memandang sebelah mata ikan sidat terutama dari sisi harga dan potensi pasarnya.
Padahal, ikan sidat ini bisa dihargai cukup mahal. Untuk sidat jenis mormorata misalnya harganya mencapai Rp 120.000-Rp 180.000 per kilogram (kg). Sementara ikan sidat jenis bicolor pacifica harganya sekitar Rp 65.000-Rp 100.000 per kg. "Sayangnya, banyak masyarakat yang belum tahu," jelas Ichwan.
Kedua, modal yang masih minim. Ichwan bilang, pembudidaya sidat di Indramayu selama ini hanya mengandalkan pinjaman lunak dari dana corporate social responsibility (CSR) Pertamina. Sementara itu, dari perbankan umum masih kurang. Pembudidaya kesulitan memenuhi persyaratan kredit yang diajukan perbankan umum
Keadaan yang terjadi di Indramayu juga ternyata berlaku secara nasional. Produksi ikan sidat secara nasional hanya sekitar 3.400-3.500 ton saja. Supriyadi, Kepala Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya Karawang (BPLUPPBK), mengatakan, produksi sidat masih dihadapkan berbagai kendala seperti masalah benih. Indonesia sebenarnya salah satu penghasil benih sidat terbesar (spooning ground).
Namun, dalam beberapa waktu terakhir benih sidat mulai sulit diperoleh. Ini diperparah dengan kualitas benih alam yang juga menurun. "Akibatnya, produksi sidat belum banyak," jelas Supriyadi
Pasar Export
Shoji Takaoka, GM Pengembangan Organisasi Restaurant Express Co.Ltd, Jepang menyatakan kebutuhan sidat di Jepang mencapai 100.000 ton. Di sisi lain, Jepang hanya mampu memproduksi sekitar 20.000 ton. Sisanya, mereka impor dari negara lain seperti China dan Taiwan.
Masalahnya, dalam satu tahun terakhir konsumsi sidat di Jepang turun menjadi sekitar 40.000 ton per tahun. Penurunan ini bukan karena orang Jepang bosan dengan sidat, melainkan lantaran mereka khawatir sidat impor dari China terkontaminasi zat kimia.
Victor Nikijuluw, Dirjen Pengolahan & Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) KKP, menambahkan dari sisi nilai kebutuhan Jepang yang 40.000 ton itu saja bisa mencapai US$ 1,7 miliar. Ini sangat besar mengingat total ekspor perikanan Indonesia tahun lalu hanya sekitar US$ 2,9 miliar.
KKP juga kian gencar membuka jalur produksi dan pemasaran sidat. Jepang menjadi target utama ekspor sidat dari Indonesia, karena kebutuhan terbesar memang dari sana. "Pasokan dari China ke Jepang kan sedang turun, kita harus ambil alih itu," tandas Victor.
Dalam perdagangan inter-nasional, belut dan sidat tidak dibedakan terutama dalam penggu-naan kode HS (Harmonized System). Berdasarkan kode HS belut dan sidat terbagi menjadi 3 katagori, yaitu kode:
- 0301920000 untuk belut hidup
- 0302660000 untuk belut segar
- 0303760000 untuk belut beku.
Sementara itu, untuk ekspor belut Indonesia ditujukan ke beberapa negara seperti China, Hongkong, Jepang, Singapura, Taiwan, Korea, Thailand . Pada tahun 2008, volu-me ekspornya sekitar 2.676 ton, meningkat dibandingkan dengan tahun 2007 yang hanya 2.189 ton. Sementara itu, sampai akhir tahun 2009 ekspornya sekitar 4.744 ton meningkat sekitar 77,2 % dibanding-kan tahun 2008. China menjadi produsen utama belut dan sidat yang memasok 70% permintaan dunia. Produsen sidat lainnya selain Indonesia adalah Amerika, Kanada dan Thailand.
Kebutuhan Dalam Negeri
Pasar dalam negeri seperti Jakarta membutuhkan 20 ton per hari sedangkan Yogyakarta membutuhkan sebanyak 30 ton per hari untuk memenuhi 150 industri rumah tangga. Sementara itu, Kota Pekalongan membutuhkan sekitar 100 kilogram belut sehari dan wilayah Pati membutuhkan 50 kg belut sehari. Di Sumatera Barat, belut dipasarkan dalam keadaan hidup/ segar dan dalam bentuk kering, yang diperoleh dari penangkapan di perairan umum. Sentra penangkapan belut di Sumatera Barat meliputi Kota Padang, Kabupaten Solok, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam dan Kabupaten Pasaman. Untuk sentra pengolahan belut dalam keadaan kering terdapat Kabupaten Tanah Datar dengan kebutuhan bahan baku sekitar 150 kilogram per bulan; Kabupaten Agam kebutuhan 105 kg/ bulan; Kabupaten Lima Puluh Kota kebutuhan bahan baku 105 kg/ bulan; Kabupaten Pasaman sekitar 75 kg / bulan; Kota Padang sekitar 75 kg /bulan; Kabupaten Solok sekitar 75 kg/ bulan. Sementara itu, sentra pemasaran belut kering di Propinsi Sumatera Barat terdapat di Kabupaten Bukit Tinggi yang di pasok dari sentra sentra pengolahan.
Tak asing lagi bagi kita untuk mengenali binatang yang satu ini, bentuknya panjang, licin dan tidak memiliki sisik seperti kebanyakan ikan-ikan lainnya. Hidup binatang ini pun berbeda dengan ikan yang kebanyakan hidup berenang di dalam air, binatang ini hidup di dalam lumpur dan banyak keluar di malam hari. Rasanya yang gurih dan penuh gizi membuat belut dan sidat tak hanya diminati masyarakat di dalam negeri, tapi juga luar negeri. Selain sebagai sumber protein yang dianggap sebagai peningkat stamina, belut dan sidat juga diyakini dapat meningkatkan kesehatan dan kekenyalan kulit; menormalkan tekanan darah; mencegah penyakit mata; menguatkan daya ingat serta membantu mencegah hepatitis. Di luar negeri, sentra belut dan sidat terpusat di Taiwan, Jepang, Hongkong, Perancis dan Malaysia, sedangkan sentra belut di Indonesia berada di daerah Yogyakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat. Sumber : Deddy Kurniawan, S.Pi. https://defishery.wordpress.com/