Budidaya Kelinci Pedaging

Info Budidaya Kelinci
Di Indonesia ternak kelinci mempunyai kemampuan kompetitif untuk bersaing dengan sumber daging lain dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia ( kebutuhan gizi) dan merupakan alternatif penyedia daging yang perlu dipertimbangkan dimasa datang, daging kelinci merupakan salah satu daging yang berkualitas baik dan layak dikonsumsi oleh berbagai kelas lapisan masyarakat. Bahkan dibandingkan dengan kondidi daging ayam dilihat dari segi aroma, warna daging dan dalam berbagai bentuk masakan tidak ditemukan perbedaan yang nyata DIWYANTO et al. (1995)
Dicermati dari pengalaman terdahulu, pada tahun 80 an, ternak kelinci telah dikenalkan dan dikembangkan dimasyarakat secara luas dengan berbagai bentuk promosi, bahkan promosi pengembangannya dimotori secara langsung oleh Kepala Negara. Berbagai program aksi dalam rangka pemberdayaan pengembangan kelinci telah digulirkan dimasyarakat guna menambah pilihan pemanfaatan daging sebagai sumber gizi. Namun sangat disayangkan perkembangannya kurang menggembirakan dan terus menurun
popularitasnya, bahkan hingga saat ini sentra –sentra produksi kelinci hanya terdapat di daerah-daerah pariwisata, misalnya di Lembang (Jawa Barat), Bedugul (Bali), Kaliurang (Yogyakarta), tentunya denganwilayah penyebaran yang terbatas permintaan daging kelinci akan menjadi terbatas pula. Kendala lain yang terdeteksi adalah adanya pengaruh kejiwaan ”tidak tega” apabila manusia hendak memakan daging kelinci (SARTIKA, 1998).
Teknik budidaya maupun pengolahan hasil ternak kelinci telah banyak dipelajari oleh para ahli, bahkan banyak pula peternak yang telah mengadopsinya. Dengan demikian saat ini dimana krisis ekonomi terus berlangsung dan adanya issue penyakit ”flu burung” yang menyerang ternak unggas, maka usaha kelinci merupakan kesempatan yang baik untuk memulai menggiatkan kembali usaha Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci 140 pengembangannya dimasyarakat. Harapannya adalah masyarakat dapat memperoleh pendapatan dan sekaligus untuk pemenuhan gizinya.
Teknologi pascapanen untuk mengolah daging dan kulit bulu kelinci masih terus digali dan dikembangkan. Pemilihan jenis kelinci perlu mendapat perhatian sesuai dengan tujuan pemeliharaan, diambil daging atau kulit bulunya. Untuk mendapatkan bulu dan kulit bulu maka yang cocok dipelihara adalah jenis American Chinchilla, Rex atau Reza (Rex Satin) dan Angora, sedangkan untuk tujuan diambil dagingnya dipelihara jenis Belgian, Californian, Flemish Giant, Havana, Himalayan dan New Zealand (https://www. republika.co.id/koran_detail.asp?id=181910&k at_id=149). Beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan produk dari komoditas kelinci adalah masih terbatasnya ketersediaan bahan baku. Disamping teknologi budidaya kelinci yang belum dikuasai oleh masyarakat, teknologi pengolahan produk berbahan baku dari daging kelinci dan penyamakan kulit bulu kelinci belum banyak dikenal dan dikuasai masyarakat.
Industri ternak kelinci
Keberadaan ternak kelinci bagi manusia dapat dimanfaatkan dalam berbagai hasil produk. Hasil pemotongan ternak kelinci menghasilkan daging dan kulit bulu. Melalui serangkaian kegiatan (proses) dan penambahan beberapa bahan lain maka dapat dihasilkan bahan pangan (Nuget, baso, burger, sosis, sate, dll.) maupun bahan industri kerajinan kuli (tas, mantel, hiasan, dll.). Produk lain dari ternak kelinci adalah ternak sebagai binatang kesayangan dan penghasil kotoran untuk pupuk. Beberapa tipe kelinci sebagai ternak kesayangan mempunyai nilai harga harga yang lebih baik dibanding ternak kelinci pedaging. Sedangkan kotoran ternak (feses, air kencing dan sisa hijauan) setelah diproses menjadi kompos berguna sebagai penyubur tanah maupun tanaman(SARTIKA, 1998).
FAREL dan RAHARJO (1994) mengatakan bahwa kelinci sapihan dapat menghasilkan kotoran sebanyak 28 gram kotoran lunak atau setara dengan 3 gram protein/hari/ekor. Penggunaan kotoran kelinci dengan tambahan probiotik (kompos) berguna untuk kesuburan tanah dan tanaman dan telah dilakukan percobaan skala penelitian. SAJIMINet al. (2005) mengatakan bahwa penggunaan kompos kelinci dengan feses kelinci ditambah probiotik kandungan bahan organik dengan C/N ratio (11−12%) lebih baik dibanding tanpa probion C/N (10%). Manfaat lain adalah kompos feses kelinci dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman Stylosanthes hamata secara nyata lebih tinggi 58,4% dibandingkan dengan tanpa probiotik.
Industri pengolahan ternak kelinci meliputi: teknologi pengolahan daging (Nuget, Sosis, Burger, Dendeng, Baso, Sate, Gule, Tongseng, Soup). Sedangkan kulit dan bulu kelinci
dapat diolah menjadi bahan kerajinan Hiasan dan Souvenir (Gantungan Kunci, Pajangan yang berupa Wayang Kulit) dan pakaian seperti : Mantel, Jaket). Selain itu kotoran ternak kelinci dapat dijadikan pupuk kompos. (Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci 141).
Potensi kelinci sebagai penghasil daging
Menurut SARTIKA et al. (1998) dari seekor induk yang dipelihara selama 1 tahun dapat menghasilkan sebanyak 117 kg daging untuk kelinci Ras biasa dan 144 kg daging untuk kelinci Hybreed pada pemeliharaan secara intensif dan manajemen yang baik. Hal tersebut dikarenakan ternak kelinci bersifat prolifik dan jarak antar kelahiran yang cukup pendek. Sedangkan prosentase karkas kelinci mencapai 42,6 sampai 46,7%.
Menurut FAREL dan RAHARJO (1994) bahwa daging kelinci mempunyai kualitas kandungan gizi yang cukup baik, karena mengandung lemak, kolesterol dan garam yang rendah. Dalam kajiannya tentang preferensi daging kelinci yang dilakukan oleh DIWYANTO et al. (1985) diperoleh hasil bahwa warna, aroma, rasa dan keempukan daging kelinci panggang antara berbagai jenis kelinci tidak berbeda nyata. Selanjutnya dikatakan antara warna, aroma dan rasa daging kelinci dengan ayam ras tidak menunjukkan hasil yang berbeda, kecuali keempukan dimana ternak ayam lebih empuk.
DIVERSIFIKASI PRODUK
Daging kelinci
Kelinci mempunyai potensi yang besar sebagai penghasil daging, pada umur delapan minggu mampu mencapai bobot lebih dari dua kilogram (FARREL dan RAHARDJO, 1984). Seekor kelinci dengan bobot hidup dua kilogram dapat menghasilkan karkas seberat 900 g. Daging kelinci mempunyai kemiripan dengan daging ayam yaitu warna putih pucat. Daging kelinci mempunyai berbagai kelebihan dibanding jenis daging lainnya, antara lain kadar kolesterolnya terendah kedua setelah daging kalkun, kadar garam dan lemak jenuh rendah, sedangkan kadar proteinnya tinggi. Kadar kolesterol daging kelinci hanya 50 mg/kg, sedangkan domba 320 mg/kg, dan kadar proteinnya berturut-turut adalah 20,8 dan
13,7% (FARREL dan RAHARDJO, 1984).
Permintaan daging kelinci tidak begitu berkembang dibandingkan jenis ternak lain,
yang antara lain disebabkan ketersediaan terbatas, dan adanya hambatan psikologis pada masyarakat karena lebih dikenal sebagai binatang kesayangan (peliharaan). Melihat potensinya yang cukup besar karena kecepatan perkembangbiakannya dan sebagai sumber protein maka agar konsumsi daging kelinci meningkat perlu dilakukan pengenalan dan diversifikasi produk olahan yang dapat diterima masyarakat. Daging kelinci dapat diolah menjadi berbagai macam produk olahan bercitarasa tinggi seperti sosis, nugget, bakso, kornet, dan abon. Perbaikan mutu produk olahan dari daging kelinci dapat dilakukan dengan modifikasi bahan tambahan yang digunakan antara lain penambahan omega 3 dan 6 yang antara lain terdapat dalam minyak jagung , serat maupun protein untuk meningkatkan nilai gizinya. Pengolahan daging kelinci akan memberikan keuntungan yang cukup tinggi bagi pengolah. Hasil perhitungan secara sederhana diketahui bahwa dari 15 kg daging seharga Rp. 450.000 dan biaya tenaga produksi Rp. 75.000 serta bumbu dan campuran pelengkap Rp. 75.000 diperoleh hasil Rp. 1.125.000, sehingga margin keuntungan adalah Rp. 525.000.
Kulit dan bulu kelinci
Kulit/kulit bulu memiliki potensi pengembangan dan prospek pasar yang cukup baik, bahan dan produknya merupakan komoditas ekspor non-migas yang dari tahun ke tahun terus meningkat. Namun pengembangan kulit bulu masih mengalami kendala. Selain kuantitas yang belum memadai, kualitas hasil olahan kulit dan produknya dari Indonesia dinilai masih rendah terutama yang disamak secara tradisional dibandingkan dengan kulit dan kulit bulu dari Italia, Perancis, Jerman dan Jepang. Ketersediaan bahan baku yang terbatas, mutu awal sebelum diproses yang seadanya serta penguasaan teknologi yang terbatas merupakan beberapa faktor kritis penyebab rendahnya mutu kulit/kulit bulu Indonesia. Untuk membantu mengatasi keterbatasan pasokan kulit, kelinci dapat menjadi alternatif ternak yang perlu dikembangkan. Kelinci dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan cepat dan dapat memasok tidak hanya kulit tetapi juga dagingnya dalam jumlah yang relatif cepat. Namun, karena kelinci adalah jenis ternak yang kecil maka kulit/kulit bulunya diarahkan untuk produk-produk yang berukuran kecil serta produk yang tidak membutuhkan kuat tarik dan kuat sobek yang tinggi (RAHARDJO, 1994).
Menurut informasi dari BLPP Ciawi, Bogor, pasar komoditas kulit bulu kelinci semakin meningkat. Peningkatan terjadi karena santernya kritik yang dilontarkan para pecinta alam dan lingkungan seperti Green Peace terhadap perburuan dan pembantaian satwa liar. Sebelumnya, bulu untuk pembuatan jaket dan aksesorinya di negara-negara beriklim dingin umumnya menggunakan kulit beruang hasil buruan. Dengan santernya kritik tersebut para produsen jaket kulit lantas berusaha melirik bahan baku lain. Kelinci dianggap sebagai salah satu ternak yang bisa menggantikan kebutuhan bulu untuk jaket (https://www.sinarharapan.co.id/feature/hobi/2002/071/hob1.html). Berbagai produk eksotik sebelumnya berasal dari kulit atau kulit bulu domba, kulit itik dan kulit reptil, maka kulit bulu kelinci sangat potensial dikembangkan karena kekhasan dari kehalusan bulunya yang dapat dijadikan mantel dengan harga yang tinggi (nilai ekonomi yang tinggi) serta memiliki pangsa pasar tersendiri di kalangan tertentu. Sayangnya penyamakan kulit bulu kelinci di Indonesia masih sangat terbatas dan memerlukan penguasaan teknologi penyamakan yang baik dan memadai karena akan berpengaruh terhadap kualitas kulit bulu terutama terhadap kehalusan dan struktur kulit bulu serta agar tidak mengalami pembusukan. Rendahnya mutu kulit bulu dapat dipahami mengingat teknologi penyamakan yang umum dikenal di Indonesia lebih diarahkan kepada penyamakan kulit tanpa bulu.
dibahas teknis pengolahan beberapa produk olahan daging kelinci yang cukup potensial untuk dikembangkan yaitu nugget, sosis, kornet dan karage.
Kulit dan bulu kelinci
Kulit/kulit bulu memiliki potensi pengembangan dan prospek pasar yang cukup baik, bahan dan produknya merupakan komoditas ekspor non-migas yang dari tahun ke tahun terus meningkat. Namun pengembangan kulit bulu masih mengalami kendala. Selain kuantitas yang belum memadai, kualitas hasil olahan kulit dan produknya dari Indonesia dinilai masih rendah terutama yang disamak secara tradisional dibandingkan dengan kulit dan kulit bulu dari Italia, Perancis, Jerman dan Jepang. Ketersediaan bahan baku yang terbatas, mutu awal sebelum diproses yang seadanya serta penguasaan teknologi yang terbatas merupakan beberapa faktor kritis penyebab rendahnya mutu kulit/kulit bulu Indonesia. Untuk membantu mengatasi keterbatasan pasokan kulit, kelinci dapat menjadi alternatif ternak yang perlu dikembangkan. Kelinci dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan cepat dan dapat memasok tidak hanya kulit tetapi juga dagingnya dalam jumlah yang relatif cepat. Namun, karena kelinci adalah jenis ternak yang kecil maka kulit/kulit bulunya diarahkan untuk produk-produk yang berukuran kecil serta produk yang tidak membutuhkan kuat tarik dan kuat sobek yang tinggi (RAHARDJO, 1994).
Menurut informasi dari BLPP Ciawi, Bogor, pasar komoditas kulit bulu kelinci semakin meningkat. Peningkatan terjadi karena santernya kritik yang dilontarkan para pecinta alam dan lingkungan seperti Green Peace terhadap perburuan dan pembantaian satwa liar. Sebelumnya, bulu untuk pembuatan jaket dan aksesorinya di negara-negara beriklim dingin umumnya menggunakan kulit beruang hasil buruan. Dengan santernya kritik tersebut para produsen jaket kulit lantas berusaha melirik bahan baku lain. Kelinci dianggap sebagai salah satu ternak yang bisa menggantikan kebutuhan bulu untuk jaket (https://www.sinarharapan.co.id/feature/hobi/2002/071/hob1.html). Berbagai produk eksotik sebelumnya berasal dari kulit atau kulit bulu domba, kulit itik dan kulit reptil, maka kulit bulu kelinci sangat potensial dikembangkan karena kekhasan dari kehalusan bulunya yang dapat dijadikan mantel dengan harga yang tinggi (nilai ekonomi yang tinggi) serta memiliki pangsa pasar tersendiri di kalangan tertentu. Sayangnya penyamakan kulit bulu kelinci di Indonesia masih sangat terbatas dan memerlukan penguasaan teknologi penyamakan yang baik dan memadai karena akan berpengaruh terhadap kualitas kulit bulu terutama terhadap kehalusan dan struktur kulit bulu serta agar tidak mengalami pembusukan. Rendahnya mutu kulit bulu dapat dipahami mengingat teknologi penyamakan yang umum dikenal di Indonesia lebih diarahkan kepada penyamakan kulit tanpa bulu.
Jenis Pengolahan Daging Kelinci
Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk penganekaragaman pengolahan kelinci antara lain adalah pembuatan nugget, sosis, bakso dan karage. Pembuatan produk-produk tersebut tidak terlalu rumit sehingga bisa dikerjakan dalam skala rumah tangga. Peralatan yang dibutuhkan hampir sama yaitu food processor untuk menggiling daging dan mencampur dengan bahan tambahan lainnya, sedangkan untuk sosis dibutuhkan alat sausage stuffer.
Food processor untuk menghaluskan daging.
Pemasaran ternak kelinci
Produk ternak kelinci yang dapat dipasarkan adalah dalam bentuk hidup, bentuk produk segar maupun produk olahan. Transaksi jual-beli kelinci hidup antara produsen dan konsumen dapat berlangsung di lokasi produsen maupun di pasar (pasar umum, pasar hewan, bahkan tempat rekreasi). Ternak yang diperjual belikan mulai dari status lepas sapih hingga ternak siap kawin.
Daerah pemasaran kelinci, mempunyai tingkatan, mulai dari produsen, pedagang/penyalur, konsumen.
Pemasaran kelinci di tingkat produsen; transaksi antara peternak dengan pedagang, pedagang melakukan pembelian kelinci kepada produsen (peternak), ternak yang diperjual belikan adalah ternak bibit, siap potong maupun kelinci dewasa. Transaksi yang terjadi pada produsen selain pedagang adalah juga terdapat peternak dimana tujuannya adalah membeli ternak untuk dikembangkan lebih lanjut.
Pemasaran di tingkat pedagang; transaksi antara pedagang dengan konsumen akhir (lokal maupun luar daerah), transaksi seperti ini dilakukan di tempat tertentu (pasar umum, maupun pasar hewan, dan tempat pariwisata daerah).
Pemasaran di tingkat konsumen biasnya langsung diolah oleh pedagang-pedagang masakan yang mengolah makanan yang terbuat dari daging kelinci seperti : Sate, soup, dan Tongseng kelinci yang menjual makanannya kepada konsumen penyuka masakan tersebut.
Analisis usaha kelinci di pedesaan
Pemanfaatan ternak kelinci dan pengolahan produk kelinci telah dapat memberikan keuntungan yang cukup berarti bagi kehidupan masyarakat di pedesaan, terutama pada sentra-sentra produksi di daerah pariwisata. Seberapa jauh nilai keuntungan yang dapat diraih bagi produsen (peternak), apabila peternak di pedesaan akan mengusahakan sebanyak 20 kelinci induk dan lima pejantan selama setahun. Dengan memperhatikan nilai koefisien teknis
produktivitas kelinci dari berbagai hasil penelitian sebelumnya oleh para ahli dan nilai jual produk kelinci (daging, kulit bulu dankotoran) saat ini, maka hasil pendapatannya dapat diketahui. Uraian detail analisa ekonomi sederhana terhadap usaha kelinci dengan skala 20 ekor induk dan 5 ekor jantan selama setahun disajikan pada Tabel1.
Tabel 1. Analisa ekonomi sederhana usaha kelinci dalam jangka satu tahun
Item pengeluaran dan penerimaan Rp |
|
PengeluaranBibit Induk (20 ekor) Jantan (5 ekor) Pakan Induk Pejantan Anak 24 minggu Anak 20 minggu Anak 12 minggu Anak 4 minggu Kandang Induk Pejantan Box anak Anak lepas sapih Tempat pakan/minum Induk Pejantan Anak LS Tenaga kerja upahan 1 orang/tahun Obat-Obatan Peralatan lainnya Total pengeluaran Penerimaan Jual daging dan kulit bulu ternak umur potong Jual daging dan kulit bulu ternak umur 5 bulan Jual daging dan kulit bulu ternak umur 3 bulan Jual daging dan kulit bulu ternak umur 1 bulan Kotoran (kg lunak) Total penerimaan Pendapatan B/C Ratio |
837.600 675.600 162.000 38.139.600 2.664.000 666.000 25.574000 6.216.000 2.664.000 355.200 740.000,- 100.000 20.000 20.000 600.000 290.000,- 40.000 10.000 240.000 2.400.000,- 500.000,- 100.000,- 43.012.000,- 26.112.000,- 9.360.000,- 7.776.000,- 7.840.000 1.130.400,- 52.218.400,- 9.206.200,- 1,21 |
1. Ternak pada waktu kas opnam terdapat sejumlah kelinci hidup berbagai umur, dalam perhitungan diperhitungkan nilai jual kulibulu dan bobot hidup yang sama dengan ternak usia potong.
2. Biaya kelinci bibit sudah diperhitungkan dalam nilai kelinci afkir.
Dari Tabel 1 dapat diuraikan bahwa jumlah
pengeluaran usaha kelinci yang terbanyak adalah untuk pembelian pakan konsentrat yaitu sebanyak Rp 38.139.600/tahun atau 88,89%. Dari total pengeluaran sebanyak Rp43.012.200/tahun. Pengeluaran terbanyak kedua adalah untuk membayar tenaga kerja, lalu untuk perkandangan dan obat-obatan.
Sedangkan sumber penerimaan terbanyak diperoleh dari penjualan daging kelinci dan kulit bulu umur potong selama 1 tahun sebanyak 384 ekor, yaitu sebanyak Rp
26.112.000. Meskipun kotoran kelinci dapat menghasilkan uang, namun nilainya masih cukup sedikit, yaitu sekitar Rp 1.130.400/tahun. Dari usaha kelinci dengan skala usaha 20 ekor induk dan lima ekor jantan, maka diperoleh pendapatan (keuntungan) sebanyak Rp 9.206.200/tahun atau Rp 767.183/bulan. Hasil perhitungan pada penerimaan telah mencantumkan tentang ternak kelinci yang masih berusia dibawah umur potong yang terdiri dari umur 5 bulan ( 144 ekor), umur 3 bulan sebanyak (144 ekor) dan umur 1 bulan sebanyak (160 ekor).
KESIMPULAN
Ternak kelinci mempunyai potensi sebgai penghasil daging, kulit bulu, ternak hidup dan kotoran yang sangat bernilai bagi kepentingan manusia.
Faktor teknis terutama kematian merupakan kendala pada teknis budidaya, sedangkan faktor nonteknis adalah masalah psikologis dan daya beli mayarakat masih rendah.
Promosi pengembangan kelinci melalui pengenalan produk-produk olahan sehingga masyarakat mempunyai pilihan atas produk daging kelinci.
Di bidang pertanian dan peternakan, peran teknologi di bidang pascapanen atau pengolahan hasil sangat penting untuk meningkatkan nilai tambahnya.
Pengembangan ternak kelinci diharapkan berorientasi komersiil, dengan spesifikasi aktivitas usaha ( pembibitan, budidaya dan pengolahan hasil).
Usaha kelinci dengan skala 20 ekor induk dan 5 ekor pejantan untuk menghasilkan daging dan kulit bulu dapat diperoleh keuntungan sebesar Rp 9.206.200,-/tahun atau Rp 767.183/bulan (dengan memasukkan penilaian sejumlah kelinci yang masih berusia dibawah umur potong).
Resep Menu Daging Kelinci
1. Membuat Nugget Daging Kelinci
Nuget
Nugget adalah suatu bentuk produk daging giling yang telah dibumbui, kemudian dilumuri perekat tepung dan diselimuti tepung roti, digoreng setengah matang lalu dibekukan untuk mempertahankan mutunya selama penyimpanan. Bahan-bahan tambahan yang diperlukan dalam pembuatan nugget antara lain bahan pengisi, bahan pengikat, es atau air es, minyak dan bumbu-bumbu. Bahan pengisi merupakan bahan tambahan selain daging dengan kandungan protein rendah seperti berbagai jenis pati seperti tepung jagung, kentang, tapioka dan terigu. Fungsi bahan pengisi adalah untuk untuk mengikat air. Bahan pengikat merupakan bahan tambahan yang mempunyai kandungan protein lebih tinggi, berfungsi untuk menambah daya emulsifikasidan daya mengikat air susu skim bubuk, tepung kedelai dan isolat protein kedelai. Es atau air es berfungsi meningkatkan keempukan dan juiciness dari produk akhir. Untuk pembuatan nugget skala kecil, hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan tepung tapioka dianggap paling memungkinkan dari segi biaya produksi yang lebih rendah, rasa dan tekstur secara organoleptik lebih disukai.
Gambar 1. menunjukkan diagram alir pembuatan nugget daging kelinci (RAHARDJO,2002).
Daging kelinci
↓
Penggilingan daging ← es batu
↓
Pencampuran bahan tambahan
(susu skim, bumbu, bahan pengisi/tepung)
↓
Pencetakan dalam loyang
↓
Pembentukan produk
↓
Coating dengan tepung roti
↓
Penggorengan
↓
Nugget matang
2. Membuat Sosis Daging Kelinci
Sosis
Sosis adalah bahan pangan yang berasal dari potongan-potongan daging yang digiling dan diberi bumbu dan dimasukkan ke dalam selongsong (casing) menjadi bentuk yang simetris. Beberapa tahapan dalam pembuatan sosis antara lain curing (pengawetan daging dengan natrium nitrit), pembuatan adonan, pengisian ke selongsong, pengasapan, dan perebusan. pengolahan, dan pengisian ke dalam kaleng, penghampaan, penutupan kaleng dan sterilisasi. Bahan pengisi yang digunakan antara lain tepung tapioka, tepung aren, sedangkan bahan pengikat yang ditambahkan antara lain susu skim atau isolat protein kedelai. Kandungan campuran bahan pengisi (susu skim dan isolat protein kedelai) yang ditambahkan umumnya berkisar 10−15%. ).
3. Pembuatan Kornet Daging Kelinci
Kornet
Daging kelinci
↓
Penggilingan daging I
↓
Pencampuran adonan
(tepung aren, skim, isolat protein kedelai, bumbu,
minyak jagung)
↓
Penggilingan II
↓
Pencetakan
↓
Pemasakan
(pengukusan 30 menit)
↓
Pendinginan
↓
Pemotongan produk
↓
Kornet
Sumber:https://uripsantoso.wordpress.com/2009/10/30/pemanfaatan-dan-analisis-ekonomi-usaha/